Haii :) sorry guys udah lama gue nggak posting,oke kali ini gue mau posting sedikit karya gue kepada lo semua:) semoga bisa membuat lo merasa senang,selamat membaca :)
Jalan Tak
Berujung
Karya: M. Danny
Lazio
Hujan turun dari
langit, mencoba mengobati luka yang telah lama tak kunjung terobati.
“Adit!! Jangan
tinggalin Mama, sayang! Adit, bangun!!” teriak Mama dengan suara yang serak dan
parau karena menangis berlebihan. Malam itu semuanya menangis. Papa dan Mama di
sebuah ruangan putih yang dipenuhi alat
medis seperti tabung oksigen dan sebuah monitor yang bahkan aku tak tahu
namanya mengeluarkan bunyi yang membuat mereka menangis, dan para suster
mencabut semua selang-selang dari tubuhku.
||
“Teeet” semua
murid bergegas keluar dari kelas mereka karena sudah terlalu jenuh dengan
rutinitas di sekolah, ada yang langsung menuju ke parkiran, ada yang di gerbang
sekolah menunggu jemputan dan ada juga yang masih ingin menghabiskan waktunya di
warung depan sekolah.
“Woi
Dit, kemana?”
“Pulang Jo, mau
kemana lagi emang?”
“Haha, kenapa?
Mau bantu bi Minah ngepel? Haha.”
“Terserah.” Aku
masuk ke dalam mobil, menghidupkannya, menginjak gas dalam-dalam dan meninggalkannya
di parkiran.
“Tit tit tit”
ada pesan masuk di telepon genggamku, kulihat nama pengirimnya, Josua. Dia
menanyakan apakah aku ikut pergi nanti malam bersamanya.
“Bisa, nanti gue
jemput lo.” Kujawab dan dia tak membalas pesan singkatku, lalu aku tancap gas
melaju kencang membelah jalanan ibukota yang lumayan padat.
“Dit, Adit!”
teriak Josua membuyarkan lamunanku.
”Ngekhayal apa sih
lo? Jadi pergi nggak nih? Gue udah siap.” Ia membuka pintu dan masuk ke dalam
mobil.
”Eh, jadi dong.
Emang mau ke mana?” Tanyaku sambil menyalakan mesin mobil.
“Eh tunggu muka
lo kenapa, Jo?!” Aku melihat muka sahabatku, di sekitar mata dan pipinya lebam.
”Ng..ng.. Gini,
tadi gue lewat di depan warung, eh gue dicegat sama Bagas dan teman-temannya, mereka
langsung mukulin gue.” Cerita Josua memegangi pipinya yang lebam.
“Gue nggak tau
gue salah apa, gue mau bacok tu bocah.” Sambung Josua penuh amarah.
”Tenang, ntar
kalau ketemu dia gue bantu lo ngehajar dia, sekarang kita mau ke mana?” Tanyaku.
“Dugem, bro!” Jawabnya
penuh semangat. Mobil kami melaju bagai anak panah yang telah dilepaskan dari
busur yang siap melumpuhkan buruan.
Lampu kerlap
kerlip menghantam wajahku dan minuman keras bertebaran di atas meja kami. Josua
sudah setengah sadar, tangan kanannya memegang minuman keras yang sesekali ia
minum. Bagaimana denganku? Tubuhku ada di ruangan itu tapi pikiranku sedang
berkelana di dunia khayal, aku mengkhayalkan kehidupan keluarga seperti dulu
lagi di masa kami hidup sederhana dan bahagia, tidak seperti sekarang saat
semua kebutuhanku tercukupi dan kadang berlebihan tapi kebahagiaan itu telah
hilang entah ke mana.
Entah karena
kebahagiaan itu memang telah lenyap, atau karena kehidupanku sekarang yang
terlalu membahagiakan sehingga aku tak lagi mengenal aroma kebahagiaan yang
sesungguhnya. Entahlah.
Papa sibuk bekerja,
kadang pulang malam, bahkan kadang tak pulang. Sedangkan Mama seorang desainer
yang sibuk ke luar kota. Dan tinggallah aku dengan bi Minah di rumah.
Mulutku terus
mengeluarkan asap dari tembakau yang kubakar, hmm sebenarnya tidak sepenuhnya
tembakau, sedikit kucampur dengan ganja. Semenjak aku di bangku SMA orangtuaku
sibuk dan aku merasa kesepian, disaat
seperti itulah aku bertemu Josua. Banyak hal yang telah aku lakukan bersamanya,
mulai dari merokok sampai berkecimpung di dunia malam seperti sekarang awalnya,
tapi semakin aku dekat dengan Josua semakin banyak barang yang kucoba karena
suruhannya, dari yang diisap sampai yang disuntik. Kepuasanku mencicipi
semuanya sudah hampir mencapai tahap akhir.
Malam semakin
larut, langit hitam semakin menghitam karena awan pembawa hujan telah mengepung
ibukota. Sepertinya mereka siap untuk membasahi ibukota yang kejam ini.
“Udah, kita
pulang.” Kepalaku pusing, saking pusingnya aku tak sanggup untuk berdiri, Josua
berjalan sempoyongan ke arahku dan merangkulku.
“Oke, kita cabut.”
Dia memapahku ke mobil.
”Jo! Gue liat
Bagas tu, sama temennya!” Teriakku dengan tangan digenggam.
“Iya! Kita
samperin dia!” Kami bergegas menghampiri Bagas dan seorang temannya.
Dengan nada
emosi Josua berteriak “Woi! Sini lo kalau berani!”
Bagas dan
temannya berlari ke arah kami, “Mau apa lo?! Lo nggak jera gue gebukin?!”
tatapan Bagas seolah-olah ingin membunuh kami.
“Sialan lo!”
pukulan keras kuarahkan ke pipinya, lalu Josua menendang temannya. Perkelahian
tak terelakkan. Aku dan Josua yang
setengah sadar memukul Bagas dan temannya secara brutal, Bagas yang terdesak
mengeluarkan pisau dan mengayunkannya ke arah Josua tapi Josua mengelak dan
terjatuh. Josua berusaha bangkit tapi ia tak sanggup lalu Bagas mendekatinya. Aku
sedang memojokkan teman Bagas di sudut tembok, dengan penuh amarah kuhantamkan
kepalanya ke dinding dan berlari kearah Josua.
“Mati lo!!!”
teriak Bagas dan menancapkan pisau ke tubuh Josua, darahpun bercucuran. Aku
panik setengah mati, secepat mungkin kuambil batu besar dan kuhantamkan ke
kepala Bagas.
Aku terpaku melihat
Bagas pingsan dengan darah yang mengalir dari kepalanya dan Josua yang sudah
tak sadarkan diri. Aku takut, aku takut ditangkap polisi. Aku berlari masuk ke
dalam mobil dan kunyalakan mesin dengan tangan gemetar, aku tancap gas membuat
mobil itu berlari kencang. Aku panik, takut, dan aku menangis karena aku telah
kehilangan sahabatku.
Aku terus
melaju, hujan mulai menghantam kaca mobil dengan sangat deras. Aku melihat
cahaya kuning berjalan ke arahku dengan cepat dan tiba-tiba semua menjadi gelap
dan basah, dengan separuh sadar aku mendengarkan suara yang riuh dan suara
hujan. Aku merasakan ada yang mengalir di seluruh tubuhku, terasa hangat tapi
perlahan semuanya terasa dingin, bahkan sangat dingin. Aku bermimpi berada di
keluarga sederhanaku lagi yang penuh kebahagiaan, aku merasa sangat senang. Dan
anehnya ini seperti nyata. Aku juga bertemu dengan Josua, aku melihatnya tersenyum
kepadaku, senyum keikhlasan yang mengisyaratkan perpisahan. Aku ingin berbicara
dengan Josua tapi suaraku hilang entah ke mana, lalu ia pergi serta melambaikan
tangan ke arahku, aku melihatnya sangat bahagia. Aku berlari ke arahnya dan
menghampirinya, lalu kami berjalan bersama menuju jalan yang tak kami ketahui
ada apa di ujungnya.
-The End-
gimana?keren kalau iya lo bisa kasih coment dibawah ini,oya ini cerpen boleh lo copy-paste tapi jangan lupa tetap mencantum kan nama pengarangnya ya:) terimakasih udah membaca
NB:terimakasih buat +Najla Kajito (twitter @najlakajito) sudah membantu pengeditan cerpen ini :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar